Kamis, 23 September 2010

Sumber dan Karakteristisk Islam

I. PENDAHULUAN

Islam merupakan agama yang benar-benar bersumber dari Allah SWT, yang tidak ada keraguan sedikitpun mengenai kebenaran-Nya. Islam lahir sebagai Agama yang menyempurnakan agama-agama terdahulu yang sudah banyak dikotori oleh campur tangan pemeluknya sendiri. Islam mempunyai sumber ajaran utama yaitu al-Qur’an yang mutlak benarnya karena bersumber langsung dari Allah SWT, yang kedua yaitu Hadits sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an. Di dalam Islam juga dikenal adanya Ra’yu atau akal pikiran (ijtihad) yang digunakan sebagai sumber pendukung untuk mendapatkan hukum bila di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ditemui. Islam juga mempunyai berbagai karakteristik yang sangat luwes dan toleran, sehingga Islam menjadi sangat menarik bagi pemeluknya. Islam juga memiliki moralitas yang tangguh dan kuat yang di dalamnya mencakup aspek-aspek dalam berbagai segi kehidupan. Di dalam Islam juga dikenal pembaharuan atau modernisitas yang semuanya itu adalah untuk mencapai kekuatan dan kemajuan Islam. Untuk selengkapnya akan dibahas dalam makalah kami.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Sumber Ajaran Islam: Primer dan Sekunder

B. Karakteristik Ajaran Islam

C. Moralitas Islam

D. Islam dan Wacana Pembaharuan

III. PEMBAHASAN

A. Sumber Ajaran Islam: Primer dan Sekunder

Menurut Harun Nasution Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW.[1] Secara Istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia dan bukan pula berasal dari nabi Muhammad SAW.[2] Kemudian kalangan ulama’ sepakat bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alqur’an dan Al-Sunnah, sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Alqur’an dan Al-Sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT.

1. Sumber Ajaran Islam Primer

a. Alqur’an

Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan oleh Subni Shalih, Alqur’an berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan (mashdar) dari kata qara’a (fi’il madhi) dengan arti ism al-maf’ul, yaitu maqru’ yang dibaca (alqur’an terjemahannya, 1990: 15). Pegertian ini merujuk pada sifat alqur’an yang difirmankan-Nya dalam alqur’an (Q.S. Alqiyamah [75]:7-18), dalam ayat tersebut Allah berfirman.

¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ

Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuat kamu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.” (Q.S. Alqiyamah [75]:7-18)[3]

Kemudian secara istilah secara lengkap dikemukakan oleh Abd. Al-Wahhab Al-Khallaf. Menurutnya Al-qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadiakan hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rosulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al-fatihah dan diakhiri dengan surat Al-nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan penggantian.[4]

Fungsi Al-Qur’an tersurat dalam nama-namanya adalah sebagaimana berikut;

1) Al-huda (petunjuk)

Dalam al-qur’an terdapat tiga kategori tentang posisi alqur’an sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Kedua, Alqur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Alqur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu...” (Q.S. ai-Baqarah [2]: 185)

2) Al-furqan (pemisah)

Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang batil, atau antara yang benar dan salah. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)...” (Q.S. al-Baqarah [2]: 185).

3) Al-syifa (obat).

Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang ada pada dada (mungkin disini yang dimaksud adalah penyakit psikologis). Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada...” (Q.S. Yunus [10]: 57).

4) Al-mau’izah (nasihat).

Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai nasihat bagi orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman, “Al-qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orangg yang bertaqwa.” (Q.S. Ali Imran [3]: 138)[5]

b. Al-Hadis

Al-Hadis berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-qur’an. Selain didasarkan pada keterangan-keterangan ayat-ayat Alqur’an dan Hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat.[6] Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.[7]

Dalam literatur hadis dijumpai beberapa istilah lain yang menunjukkan penyebutan al-hadits, seperti al-sunnah, al-khabar, dan al-atsar. Dalam arti terminologi, ketiga istilah tersebut kebanyakan ulama’ hadis adalah sama dengan terminologi al-hadits meskipun ulama’ lain ada yang membedakannya.

Menurut ahli bahasa , al-hadits adalah al-jadid (baru), al-khabar (beriata), dan al-qarib (dekat) (lihat Muhammad Ajaj al- Khatib, 1971: 20 dan Endang Soetari Ad, 1984: 1). Hadis dalam pengertian al-khabar dapat dijumpai diantaranya dalam surat al-Thur (52) ayat 34. Surat al-Kahfi (18) ayat 6, dan surat al-Dhuha (93) ayat 11. Kemudian dalam mengartikan al-hadits secara istilah atau terminologi antara ulama’ hadis dan ulama’ ushul fiqh terjadi berbeda pendapat. Menurut ulama’ hadits, arti hadits adalah :

“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan , taqrir[8] maupun sifat. (Mahmud al-Thahan, 1985:15)”

Sedangkan ulama’ ahli ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah.

“Segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW yang berkaitan dengan penetapan hukum.”

Al-sunnah dalam pengertian etimologi adalah

“Jalan atau cara yang merupakan kebiasaan yang baik atau jelek. (Nur al-‘ Athar, 1979: 27)”

Posisi dan Fungsi Hadits

Umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-qur’an. Kesepakatan mereka didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam al-qur’an maupun hadits. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi (lihat Jalal al-din Abd. Al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuti, th. 505)

Aku tinggalkan dua pusaka untukmu, yang kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitab Allah (Al-quran) dan Sunnah Rasul.

Hadits berfungsi merinci danmengiterpretasi ayat-ayat al-qur’anyang mujmal (global) serta memberikan persyaratan (taqyid) terhadap ayat-ayat yang muthlaq. Disamping itu, ia pun berfungsi mengkhususkan (tahkhshish) terhadap ayat-ayat yang bersifat umum (‘am). Fungsi ini merujuk pada bayan al-tafshil versi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, juga bayan tafsir. Hadits berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam al-qur’an. Fungsi ini mengacu pada bayan al-tasyri’ versi Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.

2. Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam Sekunder

a. Pengertian Ijtihad

Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi.[9]

Menurut Abu Zahra, secara istilah, arti ijtihad ialah:[10]

ﺒﺬﻝ ﺍﻟﻔﻗﻴﻪ ﻮﺴﻌﻪ ﻔﻰ ﺍﺴﺘﻨﺑﺎﻂ ﺍﻻﺤﻜﺎﻡ ﺍﻟﻌﻤﻟﻴﺔ ﻤﻦ ﺍﺩ ﻟﺘﻬﺎ ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻟﻴﺔ

Upaya seorang ahli fiqh dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.

Sebagian lagi menggunakan metode ma’quli (berdasarkan ra’yi dan akal).[11]

Secara harfiah ra’yi berarti pendapat dan pertimbangan. Tetapi orang-orang arab telah mempergunakannya bagi pendapat dan keahlian yang dipertimbangkan dengan baik dalam menangani urusan yang dihadapi.[12]

b. Dasar-dasar Ijtihad

Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’an dan al-Sunnah. Diantara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:

!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4 Ÿwur `ä3s? tûüÏZͬ!$yù=Ïj9 $VJÅÁyz ÇÊÉÎÈ

“sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (Q. S. al-Nisa : 105).

¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ

sesungguhnya yang pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q. S. al-Rum : 21)

Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:

ﺍﺬﺍ ﺤﻜﻡ ﺍﻟﺤﺎﻜﻡ ﻔﺎﺟﺗﻬﺩ ﻔﺎﺼﺎﺐ ﻔﻟﻪ ﺍﺟﺮﺍﻦ ﺍﺬﺍ ﺤﻜﻡ ﻔﺎﺟﺗﻬﺩ ﺛﻡ ﺍﺨﻄﺄ ﻔﻟﻪ ﺍﺟﺮ ﻮﺍﺤﺪ

”Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala, akan tetapi jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.” (Muslim, II, t.th: 62)[13]

c. Syarat-syarat Mujtahid[14]

1) Mukalaf, karena hanya mukalaf yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.

2) Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya

3) Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.

4) Mengetahui keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau tidak.

d. Macam-macam Mujtahid[15]

1) Mujtahid Mutlak

Yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dari al-Qur’an dan hadits, dan seringkali mendirikan mazhab sendiri seperti halnya para sahabat dan para imam yang empat.

2) Mujtahid Mazhab

Yaitu para mujtahid yang mengikuti salah satu mazhab dan tidak membentuk suatu mazhab tersendiri akan tetapi dalam beberapa hal mereka berijtihad mungkin berbeda pendapat dengan imamnya.

3) Mujtahid fil Masa’il

Yaitu orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu mazhab.

4) Mujtahid Mugaiyyad

Yaitu orang-orang yang berijtihad mengikatkan diri dan mengikuti pendapat ulama salaf, dengan kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih utama dan pendapat-pendapat yang berbeda beserta riwayat yang lebih kuat di antara riwayat itu, begitu pun mereka memahami dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat para mujtahid yang diikuti.

e. Hukum Ijtihad

Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ’ain.

Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah.

Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi.

Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qathi’, baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah; atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijmak. (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 498-9 dan Muhaimin, dkk., 1994: 189)[16]

B. Karakteristik Islam

Istilah “karakteristik ajaran Islam” terdiri dari dua kata: karakteristik dan ajaran Islam. Karakteristik adalah sesuatu yang mempunyai karakter atau sifatnya yang khas.[17] Islam adalah agama yang diajarkan Nabi Muhammad saw., yang berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an dan diturunkan di dunia ini melalui wahyu Allah SWT.[18] Dari pengertian dua kata tersebut, karakteristik ajaran Islam dapat diartikan sebagai suatu ciri khas dari ajaran yang diajarkan Nabi Muhammad yang mempelajari tentang berbagai ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia dalam berbagai bidang agama , muamalah, yang di dalamnya termasuk ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan hidup, dan disiplin ilmu, yang kesemuanya itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Dari sini dapat dilihat bahwa Islam memiliki karakteristik yang universal sehingga mampu menjangkau lapisan masyarakat yang berlainan dan beragam model dan bentuknya. Dan dengan itulah Islm memberikan banyak solusi dalam berbagai bidang kehidupan disepanjang zaman. Dan inilah yang merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang hakiki.

Dari berbagai referensi kepustakaan tentang karakteristik Islam, tiap referensi memiliki cara yang berbeda dalam menyampaikan karakteristik Islam karena ruang lingkupnya sangat luas, mencakup berbagai aspek kehidupan umat Islam. Menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya “Karakteristik Islam Kajian Analitik” menguraikan tujuh karakteristik Islam, yaitu: Rabbaniyah (Ketuhanan), isnaniyah (kemanusiaan), syumul (universal), keadilan, kontekstual, kejelasan, integrasi antara tsabat dan murunah. Sedangkan Abuddin Nata dalam bukunya “Metodologi Studi Islam” menguraikan karakteristik Islam dalam berbagai bidang, yaitu: dalam bidang agama, ibadah, akidah, ilmu dan kebudayaan, pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, Islam sebagai disiplin ilmu. Dalam pembahasan berikut akan diuraikan karakteristik Islam dari beberapa bidang saja.

1. Dalam Bidang Agama

Islam itu agama yang Kitab Sucinya dengan tegas mengakui hak agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme dan syirik. Kemudian pengakuan akan hak agama-agama lain dengan sendirinya merupakan dasar paham kemajemukan sosial budaya dan agama, sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah.[19]

Hal ini diperkuat pada Qs. Al-Maidah ayat 46.

$uZø¤ÿs%ur #n?tã NÏd̍»rO#uä Ó|¤ŠÏèÎ/ Èûøó$# zNtƒótB $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 tû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB Ïp1uöq­G9$# ( çm»oY÷s?#uäur Ÿ@ŠÅgUM}$# ÏmŠÏù Wèd ÖqçRur $]%Ïd|ÁãBur $yJÏj9 tû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB Ïp1uöq­G9$# Yèdur ZpsàÏãöqtBur tûüÉ)­GßJù=Ïj9 Ç

Artinya: Dan kami teruskan jejak mereka dengan mengutus ‘Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan kami menurunkan Injil kepadanya, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan membenarkan kitb yang sebelumnya yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.[20]

Dari ayat di atas, kaum muslim diperintahkan berpegang teguh kepada ajaran kontinuitas dengan beriman kepada semua Nabi dan Rasul tanpa kecuali dan tanpa membeda-bedakan antara mereka. Bahkan Al-Qur’an tepatnya dalam Qs. Al-Baqarah ayat 62 juga mengisyaratkan bahwa para penganut berbagai agama (Yahudi, Nasrani, Sabi’in), asalkan percaya Tuhan dan Hari Akhir serta berbuat kebajikan, semua akan mendapat pahala. Dengan demikian karakteristik Islam dalam bidang keagamaan bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan, dan saling menghargai, karena dalam pluralitas agama terdapat unsur kesamaan yaitu pengabdian pada Tuhan.

2. Dalam Bidang Ibadah

Ibadah dapat diartikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala yang dilarang-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya. Ibadah ada yang bersifat khusus dan umum. Ibadah khusus dapat diartikan sebagai apa yang telah ditetapkan Allah akan perinci-perinciannya, tingkat dan cara-caranya tertentu. Misalnya bilangan salat lima waktu serta tata cara mengerjakannya, ketentuan ibadah haji dan tata cara mengerjakannya. Dalam yurisprudensi Islam telah ditetapkan bahwa dalam urusan ibadah khusus tidak boleh ada “kreativitas”, sebab yang meng”create” atau yang membentuk suatu ibadah dalam Islam dinilai sebagai bid’ah yang dikutuk Nabi sebagai kesesatan.[21]

Dalam kitab karangan Dr. Yusuf. Al-Qardhawi juga dijelaskan mengenai karakteristik Islam dalam bidang ibadah, namun pokok bahasannya tertuju pada Rabbaniyah. Yang dimaksud dengan Rabbaniyah di sini adalah yang meliputi dua kriteria.: yaitu Rabbaniyah ghoyah (tujuan) dan wijhah (sudut pandang), Rabbaniyah mashdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem). Adapun yang dimaksud Rabbaniyah tujuan dan sudut pandang bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya.[22]

3. Bidang Ilmu Dan Kebudayaan

Dalam bidang ilmu, kebudayaan, dan teknologi, Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk bersikap terbuka dan tidak tertutup, terbuka untuk menerima berbagai masukan dari luar, tetapi juga harus selektif, maksudnya adalah tidak begitu saja menerima seluruh jenis ilmu dan teknologi, melainkan ilmu dan teknologi yang sesuai tidak menyimpang dari ajaran Islam.

4. Bidang Pendidikan

Karakteristik Islam dalam bidang pendidikan yaitu Islam memandang pendidikan sebagai hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau peempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (long life education). Islam pu memiliki rumusan yang jelas terhadap dunia pendidikan dalam bidang tujuan, kurikulum, guru, metode, sarana, dan lain sebagainya.

5. Bidang Sosial

Dalam bidang sosial, ciri khas yang diajarkan Islam yaitu ajaran yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia. Berbagai ajaran yang diajarkan Islam untuk mensejahterakan manusia antara lain sikap toleransi meskipun dengan umat yang berbeda agama, sikap tolong mnolong, kesamaan derajat, kesetiakawanan, tenggang rasa, kegotong royongan atau kebersamaan, dan lain sebagainya

6. Bidang Kehidupan Ekonomi

Islam merupakan agama yang memiliki ajaran dalam segala bidang, dalam urusan kehidupan duniapun dalam hal ini bidang ekonomi, Islam mengajarkannya untuk kesejahteraan manusia, karena Islam memandang bahwa manusia itu harus hidup seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan dunia dan akhirat. Adapun ciri khas ekonomi Islam yaitu:[23]

a) Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem ekonomi Islam

b) Ekonomi Islam merealisasikan keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat.

C. Moralitas Islam

1. Dasar Moralitas

Dasar-dasar dalam moralitas Islam meliputi dasar-dasar agama, dimana etika Islam berakar pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad, yang prinsip-prinsip moralitas dan perilaku utamanya sangat komprehensif. Adapun prinsip-prinsip yang mendasari perilaku (moralitas) utamanya, dapat kita pelajari dari pembicaraan Nabi dan Ali, sebagai berikut:[24]

“ Suatu kali Ali bertanya pada Nabi tentang prinsip-prinsip yang mendasari perilaku utamya, dan beliau menjawab: ilmu-pengetahuan adalah modalku, akal fikiran adalah dasar agamaku, cinta adalah landasanku, hasrat adalah kendaraanku, ingat kepada Allah adalah sahabatku, cemas adalah kawanku, sabar adalah bajuku, pengetahuan adalah tanganku, kepuasan adalah harta rampasanku, menolak kesenangan adalah profesiku, keyakinan adalah makananku, kebenaran adalah saranaku, taat adalah perbekalanku, jihad adalah kebiasaanku dan kesenangan hatiku ialah dalam mengarjakan ibadah.”[25]

2. Tujuan Moralitas

Islam tidak mengajarkan hidup bertapa dan hidup mewah, juga tidak memperkenalkan moralitas tanpa agama. Tujuan dari moralitas Islam ialah membuat manusia patut menduduki jabatannya, yakni membuatnya menjadi khalifah di bumi. Manusia yang demikian itu adalah ideal. Dalam hadits-hadits Nabi Muhammad, perintah-perintah moral sangat komprehensip meliputi nilai-nilai individual, sosial, fisikal, dan spiritual (ibadah) agar manusia bisa hidup bahagia di dunia ini dan di alam baka. Adapun contoh sumber moralitas dalam aspek spiritual (ibadah) yaitu sembahyang (shalat), adalah sumber utama moralitas, karena shalat mampu mengatur fikiran dan badan menuju arah yang benar. Tidak ada perbuatan yang disebut bermoral kecuali jika ia sadar dan sesuai dengan sumber moral – ketentuan-ketentuan al-qur’an dan Hadits serta motif-motif pribadi yang mempengaruhi suatu perbuatan – karena, “segala perbuatan dinilai menurut niat (maksud)nya” demikian sabda Nabi.[26]

D. Islam dan Wacana Pembaharuan

Sebagai ormas terbesar di negeri ini, Muhammadiyah dan NU memang sangat berpengaruh dalam hampir seluruh aspek kehidupan bangsa ini. Bahkan, pencitraan islam indonesia, secara langsung atau tidak senantiasa dihubungkan pada organisasi modernis, dan NU yang sama-sama memiliki jama’ah yang besar. Harapan ini tentu saja tidak berlebihan, sekalipun bukan tanpa masalah. Bahkan, masalah tersebut dapat muncul dalam internal ormas Muhammadiyah dan NU. Misalnya apakah Muhammadiyah dan NU mampu menjadi alternatif dalam menjawab persoalan – persoalan yang mumcul dihadapan hidung umat islam, ataukah Muhammadiyah dan NU berhenti dalam ijtihad sehingga masalah – masalah umat semakin menumpuk dan tidak ada jalan keluarnya.

Problem tersebut bukan hanya teologis, tetapi sekaligus kultural dan struktural. Yang mana ketiganya mengharuskan adanya sebuah proses kreatif dari Muhammadiyah dan NU, sehingga ormas islam ini mampu memberikan sumbangan yang penting dalam proses pembaharuah pemikiran islam.[27]

a. Problem Teologis

Terdapat banyak problem yang menghinggapi pada kehidupan umat beragama. problem teologis misalnya yang merupakan turunan dari ideologi. Keyakinan penganut setiap agama yang ada, sehingga tidak jarang membuahkan truth claim sebagai pemilik mutlak kebenaran tuhan, sehingga agama diluar agama yang dianut tidak lebih dari agama palsu/ bahkan agama setan.

Problem teologis ini seakan - akan mendapatkan legitimasi dari kitab suci yang dipahami secara rigit – tekstual, sehingga pemahaman atas teks suci keagamaan tidak memasukkan dimensi sosial historis yang menjadi bagian dari basis munculnya teks suci tiap-tiap agama terutama yang menyangkut pada agama ibrahim. Dan tiga agama ibrahim ini akhirnya tidak pernah lepas dari pertentangan dan bahkan perebutan wilayah dakwah- misi unntuk memperluas penganut jama’ah di tengah masyarakat.

b. Problem Kultural

Selain problem teologis, problem cultural juga menjadi bagian dari rumitnya kehidupan umat beragama yang harus direspons oleh islam. Misalnya perpindahan agama, jika kita memiliki pemahaman yang tidak stereotype tentang agama-agama. Sebenarnya perpindahan agama dapatlah dipandang sebagai sebuah proses social yang wajar, tatkala perpindahan agama dilakukan dengan cara sadar, tanpa paksaan, sebab dalam agama yang baru diyakini dapat memberikan”keberkahan” dan keselamatan, perlindugan, secara memadai atas kehidupan yang dialaminya. Perpindahan agama karena itu, bukan merupakan persoalan teologis yang menghawatirka, sebab kepenganutan agama dalam tradisi masyarakat kita, lebih dekat dengan factor keturunan dan lingkungan. Bila bapak- nenek moyang kita dan komunitas kita beragama islam, kemungkinan akan beragama islam, demikian pula jika beragama Kristen dan seterusnya, kita juga akan beragama Kristen. Pendek kata, proses internalisasi keagamaan lebih banyak dipengaruhi karna factor keturunan dan komunitasnya, bahkan teologis apalagi politik.

c. Problem Struktural

Selain problem teologis dan problem cultural, ada juga problem structural. misalnya, problem dominannya keterlibatan negara dalam urusan agama, yakni adanya kompilasi hukum islam yang mengatur tentang kehidupan umat beragama, tidak saja umat islam. Sebab dalam kompilasi hukum islam mengatur pula tentang boleh tidaknya perkawinan antar- agama, hak perwalian, hak pewaisan, dan hak pengadopsian anak.

Sebagai umat beragama yang berada dalam sebuah Negara, akhirnya berada dalam dua simpang. Disatu pihak harus menaati peraturan-peraturan yang dibutuh Negara, tapi di pihak lain harus menaati kaidah dari keyakinan agama masing- masing.

Di situlah kemudian ada ambiguitas dari para penganut agama yang beragam ini. Para penganut agama tidak jarang menganut pandangan standar ganda dalam beragama; memandang agama orang lain sebagai agama yang memiliki kebenaran, tetapi kebenaran tersebut lebih rendah dari kebenaran agama yang dianutnya. Pandangan agama seperti itu bukan pandangan yang pluralis tapi bisa disebut lazy tolerance.

Oleh sebab, itu cara pandang standar ganda harus dirombak dengan cara pandang pluralis, yang menempatkan kesetaraan dalam kebenaran agama. Sehingga menumbuhkan adanya mutual trust antar umat beragama sebab, mutual trust akan menghasilkan demokratisasi dalam kehidupan umat beragama yang pluralistik.

IV. KESIMPULAN

a) Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW, dimana agama Islam sendiri memiliki pedoman pokok atau sumber ajaran yang berupa kitab suci yang bernama Al-qur’an. Kemudian apabila dalam al-qur’an masih belum terperinci maka Sunnah/Al-hadits sebagai pedoman yang kedua. selanjutnya di dalam Islam juga dikenal adanya Ra’yu atau akal pikiran (ijtihad) yang digunakan sebagai sumber pendukung untuk mendapatkan hukum bila di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ditemui.

b) Karakteristik ajaran Islam merupakan suatu ciri khas dari ajaran yang diajarkan Nabi Muhammad yang mempelajari tentang berbagai ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia dalam berbagai bidang agama, muamalah, yang di dalamnya termasuk ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan hidup, dan disiplin ilmu, yang kesemuanya itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Jadi, Islam memiliki karakteristik yang universal sehingga mampu menjangkau lapisan masyarakat yang berlainan dan beragam model dan bentuknya.

c)Moralitas Islam bertujuan membuat manusia patut menduduki jabatannya, yakni membuatnya menjadi khalifah di bumi. Manusia yang demikian itu adalah ideal. Dalam hadits Nabi Muhammad, perintah-perintah moral sangat komprehensip meliputi nilai-nilai individual, sosial, fisikal, dan spiritual (ibadah) agar manusia bisa hidup bahagia di dunia ini dan di alam baka.

d) Wacana pembaharuan Islam yang muncul sekarang ini datang karena di dalam tubuh islam merasa banyaknya persoalan-persoalan umat yang muncul, yang berbeda dan hampir tidak ditemukan pada masa Rosulullah. Maka bermunculan Organisasi-organisasi Islam yang saling mengkalim bahwa mereka dapat mengatasi dan menjawab permasalahan-permasalahan umat yang ada. Akan tetapi akan lebih baik cara pandang standar harus dirombak dengan cara pandang pluralis, yang menempatkan kesetaraan dalam kebenaran agama. Sehingga menumbuhkan adanya mutual trust antar umat beragama sebab, mutual trust akan menghasilkan demokratisasi dalam kehidupan umat beragama yang pluralistik, apalagi untuk sesama pemeluk Islam.

V. PENUTUP

Demikian makalah ini kami sampaikan, namun kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif dan inovatif sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, serta menambah khasanah keilmuan kita semua. Amin.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Abd. Hakim, Atang dan Jaih Mubarok, 2000, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Abdullah, Yatimin, 2006, Studi Islam Kontemporer, Jakarta:

Ahmad, Hasan, 1984, Pintu Ijtihad Sebelum Tutup, Bandung: Pustaka Bandung

Al-Wahab al-Khallaf, 1972, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: Al-Majelis al-‘Ala al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah

Badudu dan zain, 1996, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Deprtemen Agama RI, 2005, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, Jakarta: Al Huda

Al-Qardhawi, Yusuf, 1994, Karakteristik Islam Kajian Analitik , Surabaya: Risalah Gusti

Hameed, Hakim Abdul., 1983, Aspek-aspek Pokok Agama Islam, Jakarta: Pustaka Jaya

Nasution, Harun, jilid 1, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya.

Nata, Abuddin, 1998, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Nata, Abuddin, 2000, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Pusat Depennas, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka

Qodir, Zuly, 2006, Pembaharuan Pemikiran Islam, Yogyakarta: Pustaka Belajar

Ramulyo, Moh. Idris., 1997, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika



[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, hlm. 24

[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 65

[3] Drs. Atang Abd. Hakim, M.A. dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000) hlm. 69

[4] Abd. Al-Wahab al-Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Jakarta: Al-Majelis al-‘Ala al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah,1972), cet. IX, hlm. 23.

[5] Drs. Atang Abd. Hakim, M.A. dan Dr. Jaih Mubarok, Op. Cit, hlm. 70-71

[6] Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu, terimalah, dan apa-apa yang dilarangnyabagimu tinggalkanlah. (Q.S. Al-Hasyr, 7); dan kami tidak mengutus seorang rosul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. (Q.S. An-Nisa’ 64)

[7] Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 72

[8] Taqrir adalah perbuatan yang dilakukan oleh sahabat dihadapan Rasulullah dan beliau mengetahuinya, Rasulullah tidak melakukan perbuatan tersebut, juga tidak melarang sahabat melakukannya.

[9] Drs. Atang Abd Hakim, M. A dan Dr. Jaih Mubarok, Op. Cit, hlm. 95

[10] Ibid, hlm. 97

[11] Ibid, hlm. 98

[12] Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tutup, (Bandung: Pustaka Bandung, 1984), hlm. 104

[13] Op. Cit, hlm. 99

[14] Op. Cit, hlm. 101

[15] Ramulyo, Mohd. Idris., Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm. 148-149

[16] Op. Cit, hlm. 105

[17] Badudu dan zain, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 617

[18] Pusat Depennas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 444

[19] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 5, hlm. 80

[20] Deprtemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al Huda, 2005), hlm. 117

[21] Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 82

[22] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Karakteristik Islam Kajian Analitik , (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), hlm. 1

[23] Drs. M. Yatimin Abdullah, M. A, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Hamzah, 2006), Cet. 1, hlm. 23

[24] Hameed, Hakim Abdul., Aspek-aspek Pokok Agama Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm. 72

[25] Dikutip M. Hamidullah dalam Itroduction to Islami, hlm: 84.

[26] Op. Cit, hlm. 81-86

[27] Zuly Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006), hlm.6